Jumat, 31 Agustus 2007

Sekolah dan Hegemoni Kekuasaan

Mengapa selama ini kita harus melakukan segala rutinitas kehidupan sehari-hari yang amat mekanis & robotik? Lalu pernahkah anda tanyakan; Siapakah saya? Mengapa saya ada? Apa bedanya saya dengan yang lain? Untuk apa saya hidup? Dari mana asal saya? Kemana nantinya tujuan saya? Apa yang harus dan jangan saya lakukan? Sudah tepatkah yang saya lakukan selama ini? Benarkah pengetahuan saya tentang hidup yang saya punyai selama ini?

Perdebatan mengenai darimanakah kebenaran berasal dan siapakah penentu kebenaran, nampaknya tidak akan berakhir sampai kapanpun. Kebenaran selalu mengandung relativitas untuk selalu diperdebatkan di dalam dunia yang selalu mengalami revolusi dan evolusi. Apakah kebenaran itu bersifat subjektif ataukah bersifat objektif? Apakah kebenaran itu dapat tercipta oleh seseorang yang selera, pemikiran, otoritas diri, dan kebebasannya dipasung oleh kekuatan dan otoritas dari luar dirinya entah itu kekuatan Negara, agama, institusi pendidikan, dan bahkan orang tua sendiri? Apakah pendidikan dengan segala sistemnya mampu mengantarkan kita dalam memperoleh kebenaran, mencapai kedaulatan diri dan mewujudkan Humanisme? Ataukah pendidikan dengan segala aturannya yang sentralistik justru menyebabkan dehumanisasi dan tercerabutnya manusia dari otonomisasi diri?

“Kebenaran” ditentukan oleh pemegang kekuasaan. Negara misalnya dengan kebijakan politis yang didukung oleh tangan besi militernya, mampu menetapkan dan memaksakan “kebenaran”. Agama dengan teks-teks kitabnya mampu mengatur pola pikir, selera, dan perilaku hidup umatnya. Rumah sakit dengan otoritas yang dimiliki, dapat dengan seenaknya menentukan seberapa besar biaya yang harus dibayarkan oleh sang pasien. Begitu pula dengan sekolah dengan berbagai macam aturan akademiknya, mampu mengatur yang mana pelajaran yang harus dipelajari dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk dengan melakukan indoktrinasi agar peserta didik mengikuti selera sang pemegang otoritas. Lalu dimanakah posisi otonomi manusia dibawah kungkungan otoritas yang berasal dari luar dirinya?

Kekuasaan berada di mana-mana. Seperti itulah kata Michael Foucault, salah seorang posmodernis yang melihat adanya relasi kuasa bermain di setiap sendi kehidupan kita. Entah kekuasaan itu berada dalam lingkup negara, agama, perguruan tinggi, sekolah, rumah sakit, bahkan di dalam rumah kita sendiri. Di sekolah misalnya, para guru dan institusi sekolah mempelajari perilaku para siswa agar dapat dikuasai dan dijinakkan.

Kekuasaan menjadi modus eksistensi manusia. Dalam dunia kapitalisme lanjut, pengakumulasian modal dengan menciptakan masyarakat konsumtif yang dipancangkan dengan paradigma oposisi biner Descarterian (modern-tradisional, maskulin-feminin, dsb), mampu menguasai dan menghegemoni dunia secara mondial. Begitu pula dengan budaya patriarki dimana perempuan dikuasai oleh laki-laki baik secara fisik, seksual dan sosial serta ditempatkannya perempuan pada kelas sosial nomor dua. Kekuasaan memang menjadi “the last goal” (tujuan akhir) manusia modern. Karena dengan kekuasaan, maka hasrat, libido dan naluri dapat terpuaskan. Hingga akhirnya antara penguasa dan yang dikuasai sama-sama terdehumanisasi.

Sekolah: Kesadaran Naif dan kebudayaan bisu

Sekolah dengan berbagai macam aturan akademik, kurikulum, dan proses belajar-mengajar yang terjadi didalam kelas, ternyata memiliki potensi untuk menciptakan Dehumanisasi. Dehumanisasi menurut Paulo Freire adalah keadaan kurang dari manusia atau tidak lagi menjadi manusia (Menggugat Pendidikan, 2003). Dehumanisasi dapat pula diartikan sebagai suatu kondisi yang menempatkan manusia sebagai objek oleh manusia lainnya maupun oleh sistem.

Di dalam kurikulum pendidikan yang selama ini ditentukan oleh pemegang kebijakan dan kemudian ditasbihkan oleh guru atau dosen sebagai subjek di dalam kelas, ternyata hanya menempatkan peserta didik sebagai objek pendidikan. Selain itu, kurikulum yang bersifat sentralistik tidak memberikan ruang kepada masyarakat lokal untuk mengaspirasikan kehendak mereka. Masyarakat terutama peserta didik tidak diberikan kebebasan untuk memilih dan mengekspresikan pendapat mereka. Ketika peserta didik tidak diberikan ruang untuk mengekspresikan pendapatnya, tidak diberikan kesempatan untuk “membantah” teori yang telah di(mapan)kan, serta pengindoktrinasian dan tindakan represif yang berujung pada hilangnya kebebasan, maka akan menyebabkan posisi yang tidak seimbang dalam proses belajar-mengajar yang akhirnya menyebabkan dehumanisasi. “Guru adalah subjek dan murid adalah objek, guru tahu segalanya dan murid tidak tahu apa-apa, guru memberi dan murid hanya menerima”. Murid mau tidak mau harus mengikuti titah sang guru walaupun tidak sesuai dengan hati nurani mereka. Mereka dipaksa untuk melakukan konformitas dengan kurikulum yang siap pakai dan mengikuti keinginan guru di dalam kelas.

Selain itu, pemasungan kreatifitas dengan tidak memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk berekspresi, akan menciptakan-meminjam istilah Erich Fromm- makhluk Automaton. Automaton adalah makhluk hidup yang bergerak dan ‘berfikir’ serupa mesin dan serba otomatis. Manusia jenis ini adalah manusia yang kehilangan individualitas dan otonomisasi diri. Mereka mengikuti segala macam aturan dan kekuatan yang berasal dari luar dirinya serta tidak memiliki kekuatan kritis. Lewis Yablonsky menyebutnya Robopath.

Pemberangusan daya kritis masyarakat dengan pola pendidikan yang sentralistis diterapkan melalui Banking Concept of Education (sistem pendidikan bank). Banking Concept of Education adalah sistem pendidikan yang banyak digunakan oleh Negara di dunia ketiga. Menurut Freire, Sistem pendidikan bank yang berisi tentang berbagai macam konsep, teori, informasi, dan fakta yang berserakan, dipaksakan kepada peserta didik untuk diterima begitu saja tanpa kritik walaupun teori tersebut tidak realistis lagi. Jika tidak ditaati, maka konsekuensi akademik menjadi alat pemaksa yang represif.

Selain itu, sistem pendidikan bank merupakan konsep yang bersifat a-historis. A-historis artinya materi pendidikan yang diberikan tidak berhubungan sama sekali dengan realitas faktual dan historis keseharian baik realitas politik ekonomi, politik, sosial dan budaya sehingga peserta didik tercerabut dari realitas dan akar budayanya. Lagi-lagi menurut Freire bahwa sistem pendidikan bank akan menciptakan manusia yang memiliki kesadaran naif dan kebudayaannya adalah kebudayaan bisu. Mereka hidup dalam sebuah ruang budaya yang sama sekali tidak mereka kenali padahal mereka berada di dalamnya. Hal ini diakibatkan karena pemikiran mereka tidak diarahkan untuk mengenali realitas sosial tapi dibutakan demi kepentingan penguasa.

Pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan prosesi politik suatu Negara. Ketika pemerintahan cenderung korup dan ingin memapankan kekuasaan, maka pendidikan dijadikan sebagai alat untuk melakukan indoktrinasi dan penginjeksian dogma-dogma agar rakyat patuh terhadap Negara. Selain itu, tradisi pendidikan di Indonesia tidak diarahkan untuk mengenali kondisi realitas masyarakat secara mondial. Dengan kata lain bahwa pendidikan tidak berhubungan dengan dunia politik dan sosial kemasyarakatan. Para pemuda, pelajar dan mahasiswa tidak perlu mencampuri urusan politik apalagi politik praktis cukuplah mereka giat belajar dan mencari pekerjaan setelah mendapatkan gelar kesarjanaan. Pola seperti ini pernah dipraktekkan oleh rezim orde baru dengan menerapkan peraturan akademik NKK/BKK (Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kampus).

Manusia naif, walaupun menyadari bahwa terdapat kejanggalan dan sistem yang menindas dimana mereka hidup, namun mereka tidak mengkritiknya. Akan tetapi, mereka cenderung untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang menindas tersebut. Mereka akan “mereformasi diri” agar dapat ikut menikmati kekuasaan dari sistem. Ciri-ciri manusia naïf yaitu pertama, tak punya dorongan untuk berfikir dan mencari kebenaran karena mereka tidak kritis dan cenderung menerima sesuatu yang telah ada sebelumnya. kedua, tidak mempunyai inisiatif dalam mengambil keputusan sendiri. Gejala-gejala manusia naïf seperti ini dapat kita lihat pada perilaku peserta didik kita yang takut untuk mengutarakan pendapat mereka sendiri, tidak kritis, dan cenderung mengikuti apa yang diucapkan oleh guru mereka. Penundukan (subjugated) terhadap kreatifitas berfikir telah mengakar kuat dalam sistem pendidikan kita yang akhirnya menyebabkan masalah-masalah psikologi (pshycological problems).

Pendidikan seyogyanya mengantarkan manusia menjadi manusia seutuhnya dengan menggerakkan roda humanisasi. Humanisme sendiri berasal dari kata latin yaitu ‘humanitas’ yang berarti pendidikan manusia (Filsafat Manusia, 2002). Pertama, Proses humanisasi dapat tercipta jika manusia dalam kondisi apapun ditempatkan sebagai subjek. Artinya setiap manusia memiliki otonomisasi diri dan memiliki kebebasan dalam menentukan jalan hidup dan pilihan tanpa tekanan dari luar. Agar tidak terjadi penundukan kreatifitas maka upaya dialogis merupakan keniscayaan. Setiap manusia harus diajak untuk berdialog dengan menciptakan posisi yang seimbang yaitu subjek dengan subjek bukan subjek dengan objek. Kedua yaitu belajar langsung kepada realitas (learning to the reality) atau konsiensialisme (aksi-refleksi) dalam istilah Paulo Freire. Setiap manusia (peserta didik) diarahkan untuk mengenali lingkungan mereka (refleksi) sebelum melakukan aksi dan begitu pula sebaliknya. Konsiensialisme akan merangsang manusia untuk bersikap kreatif karena mereka dihadapkan langsung pada realitas kehidupan yang mereka jalani serta menumbuhkan daya kritis manusia dengan mempertanyakan segala hal mengenai diri dan masyarakatnya. Humanisasi dapat tercipta jika setiap manusia memiliki kebebasan untuk berekspresi namun kebebasan tersebut tetap dibalut dalam harmoni. (Moel & Hadi)

Tidak ada komentar: