Oleh David Effendi
Ketua PIP PP IRM
Menyikapi perubahan sosial pasca bergulirnya reformasi sejak tahun 1998 yang lalu musti dalam hati kecil kita bertanya apa yang berubah dalam dunia pendidikan kita? tentu kita akan berusaha seobyektif mungkin melihat perubahan sosio-politik, atau sosio-ekonimi bahkan sosio-kultural dalam masyarakat kita yang terkadang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Kita masih saja menemukan tulisan diberbagai media bahwa masih banyak praktek kebijakan atau budaya politik masyarakat yang ke-ordebaru-an. hal ini disebabkan oleh adanya kenyataan dalam kehidupan kolektif kita seperti kebijakan yang sentralistik tentang: seragam, buku wajib, UAN atau sekarang UN (ujian Nasional) dan sebagainya, dalam ruang kelas kita lihat masih banyak pendidik yang memposisikan dirinya sebagai pusat dari kegiatan belajar mengajar. murid adalah obyek dan guru adalah subyek, guru serba tahu dan murid tidak tahu apa-apa mengakibatkan di kelas hanya berisi kegiatan transfer knowledge yang kesemuanya itu akan berakibat mengahsilkan orang-orang yang takluk pada atasan, bermental kuli dan semakin melanggengkan budaya bisu alias tidak punya kretifitas karena selama pendidikan di sekolah inisiatif dan kebebasan berekspresi tidak diafasilitasi dengan baik maka tak heran akhir-akhir tahun ini banyak siswa melakukan percobaan bunh diri atau lari dari relaitas yang menurut mereka tidak layak untuk diakrabi.
Gagasan Paulo Freire (pedagogy of the Opressed, 1972) tentang pendidikan yang membebaskan perlu kita apresiasi dan penting untuk dipraktekkan dalam kultur pendidikan kita. kita tidak boleh membiarkan masyarakat kita utamanya pelajar dan mahasiswa berhenti pada level kesadaran magis, atau kesadaran naïf namun membangun kesadaran kritis di kalangan pelajar adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda. kita tahu petaka pendidikan yang gaya “bank” hanya akan melahirkan manusia yang tertindas, bermental kuli atau meminjam bahasanya Emha Ainun nadjib menjadi gelandangan dinegri sendiri, dan jadi robot-robot yang bernyawa bagi penguasa. PR untuk perbaikan pendidikan kita terlampau banyak dan tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat. laporan Bank Dunia menyebutkan keterampilan membaca siswa kelas 4 SD Indonesia paling rendah di Asia Timur. lalu, prestasi siswa SLTP dalam mata pelajaran IPA menempati urutan ke-32 dan Matematikan urutan ke-34 dari 38 negara. soal daya saing, Indonesia menempati rangking ke-37 dari 57 negara(kompas, 28 Sept 2001)
Dari mana kita mulai menyelesaikan PR tersebut? rasanya penting untuk membaca pemikiran Paulo Freire berikut ini. dia membagi kesadran manusia ke dalam tiga tingkatan yang heararkis:
kesadaran naïf yang melihat bahwa sumber persoalan adalah berasal dari internal manusia sendiri (human error). Jadi, bahasa kita orang yang bertipe kesadran naïf itu tak pernak menyalahkan orang lain. Selalu husnudzhon pada orang atau factor diluar dirinya.
kebangkitan kekuatan civil society yang meyuburkan nilai-nilai substransial demokrasi, transparansi, keseimbangan (keadilan) harusnya menjadi angin segar untuk melakuakn perubahan metode mengajar dan emndidik dilingkungan sekolah atau keluarga bahkan masyarakat untuk betul-betul menghargai manusia sebagai manusia (memanusiakan manusia), tidak mengangap semua pihak diluarnya sebagai obyek melainkan diposisikan sebagai subyek aktif.
setiap manusia tak terkecuali pelajar adalah berhak untuk mendesain masa depannya sendiri, tanpa harus dikekang atau dikungkung oleh keterbatasan ruang dan waktu. segala bentuk kebijakan yang merugikan atau mengancam pelajar (misalnya hak belajar atau mendapatkan pendidikan yang berkualkitas dirampas dengan kebijakan mahalnya pendidikan) harus dilawan. karena dalam sebuah masyarakat yang tidak ada pintu untuk protes, menyalurkan aspirasi dan hak-hak pelajar dibatasi oleh kebijakan yang menindas maka sama halnya kita hidup pada zaman kolonial atau orde baru (sudah tidak sesuai dengan semnagat zaman yang kian menuintut kita lebih peka, kritis terhadap situasi dan kondisi yang terus berkembang). dan apabila kita biarkan msyarakat dalm kebisuan maka sama saja kita menganggap mereka : masyarakat dan pelajar sebagai “manusia mati” karena tak memiliki otonomi.
Melalui apa kita mengkaunter budaya bisu? salah satunya adalah lewat jalan advokasi yang disana akan memberikan pendidikkan kritis yang memberi p-engetahuan tantang hak-haknya dan juga kewajibannya. selain mampunyai hak asasi juga mempunyai kewajiban asasi. negera yang selama ini hanya menuntut warganya atas kewajiban asasi (bayar pajak, SPP) harus diimbangi dengan pemberian jamianan atau hak yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.
Dengan ini masyarakat semakin memilki kesadran kritis, tidak lagi nrimo ing pandom yang berakibat fatalisme akut, dan kita secara riil bisa menggempur budaya bisu yang sudah menjangkiti bangsa Indonesia selama berabad-abad lamanya.
Selamat berjuang!!!. kita takkan pernah merasakan dampak positif dari perubahan kalau kita hanya bisa berpangku tangan.
Selasa, 28 Agustus 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar