Rabu, 29 Agustus 2007

Departemen Perdagangan Pendidikan

Dalam rangka reformasi pendidikan, pemerintah menyiapkan Rancangan
Undang-Undang "Badan Hukum Pendidikan" atau BHP. BHP adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal, pendirinya pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Dua kali saya baca dan merenungi rancangan BHP ini.

Mengubah nama
Rencana ini tidak konsekuen. Seharusnya mencantumkan pasal penyempurnaan
berupa perubahan nama "Departemen Pendidikan Nasional" (Depdiknas) menjadi
"Departemen Perdagangan Pendidikan" (Depdagpen). Atau, demi efisiensi,
menutup Depdiknas, semua kegiatan ditransfer ke Departemen Perdagangan,
menjadi "Direktorat Jenderal Perdagangan Pendidikan". Dengan demikian,
pemerintah menghemat pengeluaran untuk gaji dan fasilitas menteri, dirjen,
direktur, dan lainnya.

Ada pertanyaan menggelitik. Apakah saat menyusun konsep rancangan BHP,
pemerintah sejak awal menyertakan (staf) Depdiknas? Jika "tidak", bunyi yang
tersurat dan tersirat dari rancangan itu sungguh melecehkan eksistensi
Depdiknas. Jika jawabannya "ya", (staf) Depdiknas sendiri ternyata
melecehkan diri sendiri. Jika demikian, Depdiknas dibubarkan saja karena
tidak menghayati lagi esensi pendidikan, mengingkari makna dan misi suci
kelembagaannya bagi Negara-Bangsa Indonesia.

Pemerintah tidak menyadari dua dasar. Pertama, hasil kerja iptek memang
bisa, boleh, dan pantas dijual. Namun, pendidikan ke arah penguasaan skills
ke-iptek-an tak selayaknya diperdagangkan. Any scientific knowledge is
public knowledge!

Kedua, demokrasi dalam pendidikan adalah mutu tinggi bagi jumlah anak didik
yang semakin besar karena tidak dibatasi pada yang mampu membayar saja.
Inilah gunanya kebijakan "Wajib Belajar", sebisa mungkin hingga SMA.
Bukankah menurut rancangan ini pendidikan diselenggarakan secara
"demokratis" .

Tanpa visi, tanpa konsep
"Semangat dagang" itu jelas tercermin dalam Pasal 2, yang membenarkan pihak
luar bersama BHP Indonesia mendirikan lembaga pendidikan, dengan modal
sampai 49 persen.

Agar penyelenggaraan pendidikan bisa bermutu memang diperlukan dana memadai.
Namun, dana ini baru menjadi positif-konstruktif setelah sebelumnya ada
konsep pendidikan yang jelas. Konsep ini justru tidak ada. Dalam penjelasan
atas rancangan ini, secara sumir disebutkan, sistem pendidikan nasional
disusun berdasarkan visi pendidikan nasional. Mana visi ini? Angan- angan,
day dream, bukan visi!

Di situlah terletak potensi bahaya. Tanpa konsep, tanpa visi nasional
tentang pendidikan nasional, modal asing dibolehkan ikut. Di balik modal
tentu ada pikiran konseptual, betapa pun "kecil" konsep itu. Adapun
mentalitas kolonial masih melekat pada pejabat kita cenderung "menelan saja"
pendapat yang diucapkan orang asing. Enggan berdebat karena tidak punya
argumen yang nalariah.

Jadi keberadaan konsep jauh lebih menentukan keberhasilan pelaksanaan
pendidikan "nasional". Konsep/visi yang jelas dan telah disepakati bersama
amat penting sebagai acuan kerja. Mengapa? Pertama, bagi pelaksanaan semua
lembaga pendidikan, konsep/visi adalah batu ujian dalam menilai ketepatan
atau penyimpangannya.

Kedua, konsep/visi untuk menghadapi kompleksitas alami, liku-liku bawaan
zaman iptek dan proses globalisasi.

Ketiga, konsep/visi bagi penyusunan/perubaha n/penyempurnaan kurikulum
sebagai respons atas kompleksitas, liku-liku dan mengombinasikannya dengan
aneka potensi alami Indonesia, nasional dan lokal.

Dalam peresmian UI sebagai Taman Sains", Presiden Yudhoyono mengatakan,
peran iptek diperbesar agar mampu bersaing di tingkat internasional.

Adapun dalam RUU BHP istilah ilmu pengetahuan dan teknologi tidak disebut
satu kali pun. Apakah secara implisit Presiden mengkritik RUU BHP? Sebagai
kepala pemerintah, kalau Presiden tahu ada cacat dalam RUU BHP, mengapa
meloloskannya ke DPR? Atau, Presiden belum pernah membaca RUU BHP itu?

Dalam penjelasan RUU, poin (e) menyebutkan, "pendidikan diselenggarakan
dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap
warga masyarakat". Tidak jelas apakah dengan "berhitung" dimaksudkan "hitung
dagang" (hundelsrekenen) . Yang jelas tidak disebut demi mengembangkan
"budaya keilmuan", sejalan makna ucapan Presiden di UI.

Berbagai tindakan aneh
Tidak heran jika dalam "komunitas nasional" kita belum memiliki
"subkomunitas ilmiah", lingkungan bekerja orang-orang berbudaya keilmuan,
meski perguruan tinggi ada di mana-mana. Ketiadaan konsep pendidikan yang
menyeluruh tercermin pada aneka tindakan yang "aneh" di bidang kegiatan
kependidikan keilmuan. Ada pendirian "universitas riset", padahal tugas
utama yang diemban universitas di mana pun adalah pendidikan.

Nyaris semua pemenang Nobel adalah para dosen yang risetnya terkait
pengembangan ilmu yang dikuliahkan, bukan demi nilai jual hasil risetnya.
Belakangan hasil-hasil itu biasanya baru menjadi bahan bisnis industrial.

Jadi yang meriset bukan universitas sebagai lembaga, tetapi dosen sebagai
persona ilmuwan. Sambil meriset dia menuntun para mahasiswanya melakukan
riset, science in term of process, dan melalui kegiatan ini mengembangkan
scientific spirit dalam diri anak-anaknya. Mereka inilah kelak yang menjadi
staf peneliti di R & D departments dari perusahaan-perusaha an industrial.

Lembaga yang seharusnya melakukan riset di negeri ini adalah LIPI, Kantor
Menteri Negara Riset dan Teknologi, dan masih ada Dewan Riset Nasional.

Sementara itu, LIPI menciptakan gelar "profesor riset", padahal "profesor"
adalah gelar jabatan akademis bagi persona yang mengajar di perguruan
tinggi. Mungkin pertimbangannya demi kegairahan untuk meriset. Di masyarakat
ada anggapan umum, "profesor" adalah orang yang serba tahu. Di sinilah
"keanehan" itu. Alih-alih memperbaiki citra yang keliru dari orang-orang
awam, lembaga ilmu pengetahuan malah menyesuaikan diri pada citra yang
keliru.

Memang profesor adalah gelar jabatan bergengsi. Kegengsiannya itu bukan
terletak pada "keserbatahuannya" , tetapi pada kenyataan, dia adalah persona
yang men-transform, melalui ajarannya, "informasi" (perolehan SD) menjadi
"pengetahuan" (di tingkat SMP, SMA), lalu menyempurnakannya lebih lanjut,
dari "pengetahuan" menjadi "pengetahuan ilmiah" (ilmu pengetahuan) di
perguruan tinggi. Idealnya, guru-guru di SMP sudah pantas diberi gelar
professeur.

Sebagai keseluruhan apa yang tersurat dan tersirat dari RUU BHP, jelas
mencerminkan hasrat pemerintah untuk lepas tanggung jawab konstitusional dan
historisnya. Tanggung jawab konstitusional berupa tugas mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tanggung jawab historis berupa menyiapkan masa depan
bangsa melalui pemberian pendidikan yang layak bagi anak-anak bangsanya.
Inikah kado istimewa bagi Ibu Pertiwi?

Daoed Joesoef
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III, 1978-1983

Tidak ada komentar: