Senin, 27 Agustus 2007

Sekolah Jadi Barang Mewah

Bagi warga miskin di Jakarta dan sekitarnya, sekolah ibarat barang mewah. Terlebih ketika akan memasukkan anak – anak mereka ke sekolah baru, karena sebagian besar di antara mereka tak punya dana cadangan yang dapat disisihkan untuk pendidikan. Dihadapkan kondisi seperti itu, mendaftarkan anak ke sekolah menjadi semacam ritus yang amat menakutkan. Bagi warga miskin, lembaga pendidikan tidak bisa diharapkan banyak akan bisa mengubah masa depan anak – anak mereka.

Trisna Budiwarto (40), warga Petamburan, Jakarta Barat, termasuk yang menghadapi tahun ajaran baru dengan seorang anak yang harus melanjutkan ke sekolah menengah pertama tanpa tabungan sepeser pun. “ Anak saya mau masuk SMP duitnya belum kelihatan. Jangankan tabungan, yang ada Cuma tagihan,” ujarnya, Jumat (15/6). Trisna lalu memperlihatkan tagihan rekening air selama beberapa bulan sebesar Rp. 900.000,- dan tunggakan rekening listrik tiga bulan. Dia berlangganan air bersih sewaktu masih bekerja di sebuah perusahan kontraktor, beberapa tahun lalu. Setelah kehilangan pekerjaan itu selama tujuh tahun, terpaksa Trisna bekerja sebagai pedagang air minum kemasan di Tanah Abang untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Trisna berjualan pada malam hari dan istrinya pada siang hari.

Demikian pula Sumiati, warga Cilandak, Jakarta Selatan. Dia tidak punya tabungan sama sekali dalam bentuk apa pun. Anak tertuanya, Putera, baru saja lulus SD dan sudah waktunya melanjutkan ke SMP. Dia memang belum tahu anaknya aka bersekolah di mana dan berapa biaya yang dikeluarkan. Sumiati masih menunggu dengan was-was hasil tes yang menjadi syarat masuk SMP negeri. Akan tetapi, tetap saja dia harus menyiapkan sejumlah uang untuk buku pelajaran, seragam sekolah, peralatan tulis, bahkan sumbangan awal tahun jika nanti terpaksa bersekolah di swasta.

Menyiapkan dana keperluan sekolah itu bukan perkara mudah bagi Sumiati yang hanya mengandalkan pendapatan suaminya sebagai kuli bangunan harian, dengan upah Rp.50.000 per hari. Uang itulah untuk kebutuhan sehari-hari empat anggota keluarga tersebut, termasuk uang kontrakan rumah petak yang mereka tempati saat ini. “ Pernah dua minggu suami saya tidak ada pekerjaan sama sekali. Wah, jangankan untuk keperluan sekolah, makan saja bingung,” katanya.

Mereka sesungguhnya sudah paham akan arti pentingnya bersekolah. Setidaknya, berpandangan melalui sekolah ada harapan agar masa depan anak-anaknya akan lebih baik dan kemudian dapat membantu keluarga. Trisna dan Sumaiati, misalnya, berupaya sedapat mungkin agar anak mereka terus bersekolah. Biasanya, jika ada kebutuhan biaya sekolah yang benar-benar mendesak, mereka mencari pinjaman. “ Kalau enggak dapat, minta ke sekolah agar bisa mencicil tatau nunggak dulu. Setelah itu, uang dapur dikurangi sedikit – sedikut. Ya, yang penting ada nasi aja,” kata Sumiati. ( Kompas, “Humaniora”, Jum’at 15 Juni 2007, TP )

Tidak ada komentar: