Activist PP IRM
Tema pendidikan senantiasa menarik untuk selalu diperbincangkan dalam konteks pembangunan sebuah bangsa. Hal ini disebabkan karena besarnya kontribusi pendidikan dalam ranah masyarakat itu sendiri. Pendidikan menjadi penting sebagai wahana transformasi sosial. Dalam konteks ini, maka masyarakat (termasuk remaja/pelajar) memegang peranan penting untuk menentukan kehidupan sosial dimasa yang akan datang.
Karena itulah, maka kehadiran pendidikan sangat dinanti oleh publik. Sayangnya pendidikan kita masih saja mengalami problem yang cukup serius. Dan yang tidak kala pentingnya adalah akses publik untuk menikmati pendidikan mengalami bias. Sekolah semakin tidak terakses disebabkan kebijakan pendidikan yang meliberalisasi sekolah. Sehingga sekolah ditentukan oleh mekanisme pasar yang berlaku. Dengan alasan yang cukup sederhana “pendidikan memang mahal bung”.
Itulah mengapa kondisi pendidikan nasional makin buruk yang ditandai oleh rendahnya sumber daya manusia. Human development index (HDI) 2004 yang dikeluarkan oleh UNDP bisa dijadikan gambaran bagaimana posisi Indonesia yang berada dalam angka 111 lebih rendah dibanding tahun 2002 yang berada diperingkat 110.
Dengan angka demikian, maka pertanyaan yang harus dilontarkan adalah, masihkah ada harapan buat bangsa ini? Sebagai orang beragama, kita tentunya harus senantiasa menggantungkan optimisme kita. Karena dengan obsesi dan optimisme itulah kita dapat bergerak maju melangkahkan ayunan gerakan kita.
Kini timbul pertanyaan lagi, haruskah dimulai dari mana gerakan itu? Ada baiknya kita memulai gerakan itu dari hal-hal kecil yang mungkin dapat dilakukan. Misalnya bagaimana seorang pelajar untuk senantiasa menginprove dirinya dengan berbagai informasi dan hal-hal baru, sedemikian sehingga mampu meningkatkan kapasistasnya secara pribadi. Dengan demikian diharapakan tumbuhnya kesadaran.
Tetapi itu tidaklah serta merta menyelesaikan persoalan secara tuntas. Harus ada gerakan bersama dari seluruh pemangku kepentingan untuk bergerak memberikan penyadaran (publik awareness) terhadap masyarakat tentang bagaimana hak-hak mereka sebagai warga negara untuk memperoleh akses pendidikan “murah” dan berkualitas. Langkah ini sangat penting mengingat politik pendidikan kita masih sangat bias terhadap kepentingan itu.
Setidaknya ada dua hak pendidikan bagi anak Indonesia. Pertama, hak untuk diperlakukan secara manusiawi sebagai insan merdeka dalam konteks ini lebih kepada bagaimana relasi pelajar dengan guru dalam proses belajar mengajar. Yaitu bagaimana menempatkan pelajar sebagai manusia otonom yang memiliki kemampuan yang relatif sama sebagai insan ciptaan Tuhan.
Pola relasi sekolah dengan pemerintah yang sedikit banyaknya dipengaruhi juga oleh model kepemimpinan patrimonial yang dianut sebagian penguasa, membawa akibat bagi inisiatif guru serta perlakuan guru murid.
Kedua, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan beradab. Yaitu lebih kepada bagaimana kebijakan pendidikan. Kita tahu bersama bahwa tugas utama pemerintah adalah bagaimana dia berkhidmat kepada masyarakat. Dalam artian bagaimana pemerintah memberikan layanan publik yang baik terhadap rakyatnya. Termasuk adalah bagaimana menyediakan peluang pendidikan yang layak dan beradab secara luas dan merata, serta dapat diakses secara mudah oleh kelompok masyarakat apa pun (Tuhuleley, 2005).
Hak ini dijamin oleh Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Menurut Freire masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Maka dalam konteks demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia dimana peran politik (eksekutif dan legislatif) begitu besar. Maka, bagaimana ranah politik mampu menjadi wahana bagi espektasi publik akan sebuah sistem pendidikan yang mencerahkan.
Oleh karena itu, tugas terbesar kaum muda dan gerakan pelajar lainnya adalah bagaimana membuktikan kepada dunia bahwa pelajar juga bisa berbuat nyata untuk masyarakatnya. Untuk itu, maka gerakan pelajar harus menggiatkan kampanye dan propaganda kepada publik bahwa mereka memiliki hak-hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu.
Pada akhirnya kesadaran publik terhadap pendidikan yang bermutu akan mengantarkan warga (remaja/pelajar) pada hak untuk merumuskan apa defenisi pendidikan yang bermutu itu sendiri. Disini meniscayakan adanya partisipasi dari kaum terpelajar untuk senantiasa ikut memperjuangkan politik pendidikan lewat proses-proses yang demokratis. Misalnya gerakan pelajar ikut hearing dengan lembaga legislatif dalam perumusan anggaran daerah untuk sektor pendidikan. Sehingga dalam ranah ini, pelajar tidak sekedar menjadi pelengkap penderita dari suatu bangsa, tetapi mampu hadir dan melaksanakan amanat sosialnya, amanat sebagai khalifah dimuka bumi ini. Wallahu A’lam Bissawab.
1 komentar:
terima kasih sudah membantu pengerjaan tugas saya!!
Posting Komentar