Jumat, 31 Agustus 2007

Sekolah dan Hegemoni Kekuasaan

Mengapa selama ini kita harus melakukan segala rutinitas kehidupan sehari-hari yang amat mekanis & robotik? Lalu pernahkah anda tanyakan; Siapakah saya? Mengapa saya ada? Apa bedanya saya dengan yang lain? Untuk apa saya hidup? Dari mana asal saya? Kemana nantinya tujuan saya? Apa yang harus dan jangan saya lakukan? Sudah tepatkah yang saya lakukan selama ini? Benarkah pengetahuan saya tentang hidup yang saya punyai selama ini?

Perdebatan mengenai darimanakah kebenaran berasal dan siapakah penentu kebenaran, nampaknya tidak akan berakhir sampai kapanpun. Kebenaran selalu mengandung relativitas untuk selalu diperdebatkan di dalam dunia yang selalu mengalami revolusi dan evolusi. Apakah kebenaran itu bersifat subjektif ataukah bersifat objektif? Apakah kebenaran itu dapat tercipta oleh seseorang yang selera, pemikiran, otoritas diri, dan kebebasannya dipasung oleh kekuatan dan otoritas dari luar dirinya entah itu kekuatan Negara, agama, institusi pendidikan, dan bahkan orang tua sendiri? Apakah pendidikan dengan segala sistemnya mampu mengantarkan kita dalam memperoleh kebenaran, mencapai kedaulatan diri dan mewujudkan Humanisme? Ataukah pendidikan dengan segala aturannya yang sentralistik justru menyebabkan dehumanisasi dan tercerabutnya manusia dari otonomisasi diri?

“Kebenaran” ditentukan oleh pemegang kekuasaan. Negara misalnya dengan kebijakan politis yang didukung oleh tangan besi militernya, mampu menetapkan dan memaksakan “kebenaran”. Agama dengan teks-teks kitabnya mampu mengatur pola pikir, selera, dan perilaku hidup umatnya. Rumah sakit dengan otoritas yang dimiliki, dapat dengan seenaknya menentukan seberapa besar biaya yang harus dibayarkan oleh sang pasien. Begitu pula dengan sekolah dengan berbagai macam aturan akademiknya, mampu mengatur yang mana pelajaran yang harus dipelajari dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk dengan melakukan indoktrinasi agar peserta didik mengikuti selera sang pemegang otoritas. Lalu dimanakah posisi otonomi manusia dibawah kungkungan otoritas yang berasal dari luar dirinya?

Kekuasaan berada di mana-mana. Seperti itulah kata Michael Foucault, salah seorang posmodernis yang melihat adanya relasi kuasa bermain di setiap sendi kehidupan kita. Entah kekuasaan itu berada dalam lingkup negara, agama, perguruan tinggi, sekolah, rumah sakit, bahkan di dalam rumah kita sendiri. Di sekolah misalnya, para guru dan institusi sekolah mempelajari perilaku para siswa agar dapat dikuasai dan dijinakkan.

Kekuasaan menjadi modus eksistensi manusia. Dalam dunia kapitalisme lanjut, pengakumulasian modal dengan menciptakan masyarakat konsumtif yang dipancangkan dengan paradigma oposisi biner Descarterian (modern-tradisional, maskulin-feminin, dsb), mampu menguasai dan menghegemoni dunia secara mondial. Begitu pula dengan budaya patriarki dimana perempuan dikuasai oleh laki-laki baik secara fisik, seksual dan sosial serta ditempatkannya perempuan pada kelas sosial nomor dua. Kekuasaan memang menjadi “the last goal” (tujuan akhir) manusia modern. Karena dengan kekuasaan, maka hasrat, libido dan naluri dapat terpuaskan. Hingga akhirnya antara penguasa dan yang dikuasai sama-sama terdehumanisasi.

Sekolah: Kesadaran Naif dan kebudayaan bisu

Sekolah dengan berbagai macam aturan akademik, kurikulum, dan proses belajar-mengajar yang terjadi didalam kelas, ternyata memiliki potensi untuk menciptakan Dehumanisasi. Dehumanisasi menurut Paulo Freire adalah keadaan kurang dari manusia atau tidak lagi menjadi manusia (Menggugat Pendidikan, 2003). Dehumanisasi dapat pula diartikan sebagai suatu kondisi yang menempatkan manusia sebagai objek oleh manusia lainnya maupun oleh sistem.

Di dalam kurikulum pendidikan yang selama ini ditentukan oleh pemegang kebijakan dan kemudian ditasbihkan oleh guru atau dosen sebagai subjek di dalam kelas, ternyata hanya menempatkan peserta didik sebagai objek pendidikan. Selain itu, kurikulum yang bersifat sentralistik tidak memberikan ruang kepada masyarakat lokal untuk mengaspirasikan kehendak mereka. Masyarakat terutama peserta didik tidak diberikan kebebasan untuk memilih dan mengekspresikan pendapat mereka. Ketika peserta didik tidak diberikan ruang untuk mengekspresikan pendapatnya, tidak diberikan kesempatan untuk “membantah” teori yang telah di(mapan)kan, serta pengindoktrinasian dan tindakan represif yang berujung pada hilangnya kebebasan, maka akan menyebabkan posisi yang tidak seimbang dalam proses belajar-mengajar yang akhirnya menyebabkan dehumanisasi. “Guru adalah subjek dan murid adalah objek, guru tahu segalanya dan murid tidak tahu apa-apa, guru memberi dan murid hanya menerima”. Murid mau tidak mau harus mengikuti titah sang guru walaupun tidak sesuai dengan hati nurani mereka. Mereka dipaksa untuk melakukan konformitas dengan kurikulum yang siap pakai dan mengikuti keinginan guru di dalam kelas.

Selain itu, pemasungan kreatifitas dengan tidak memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk berekspresi, akan menciptakan-meminjam istilah Erich Fromm- makhluk Automaton. Automaton adalah makhluk hidup yang bergerak dan ‘berfikir’ serupa mesin dan serba otomatis. Manusia jenis ini adalah manusia yang kehilangan individualitas dan otonomisasi diri. Mereka mengikuti segala macam aturan dan kekuatan yang berasal dari luar dirinya serta tidak memiliki kekuatan kritis. Lewis Yablonsky menyebutnya Robopath.

Pemberangusan daya kritis masyarakat dengan pola pendidikan yang sentralistis diterapkan melalui Banking Concept of Education (sistem pendidikan bank). Banking Concept of Education adalah sistem pendidikan yang banyak digunakan oleh Negara di dunia ketiga. Menurut Freire, Sistem pendidikan bank yang berisi tentang berbagai macam konsep, teori, informasi, dan fakta yang berserakan, dipaksakan kepada peserta didik untuk diterima begitu saja tanpa kritik walaupun teori tersebut tidak realistis lagi. Jika tidak ditaati, maka konsekuensi akademik menjadi alat pemaksa yang represif.

Selain itu, sistem pendidikan bank merupakan konsep yang bersifat a-historis. A-historis artinya materi pendidikan yang diberikan tidak berhubungan sama sekali dengan realitas faktual dan historis keseharian baik realitas politik ekonomi, politik, sosial dan budaya sehingga peserta didik tercerabut dari realitas dan akar budayanya. Lagi-lagi menurut Freire bahwa sistem pendidikan bank akan menciptakan manusia yang memiliki kesadaran naif dan kebudayaannya adalah kebudayaan bisu. Mereka hidup dalam sebuah ruang budaya yang sama sekali tidak mereka kenali padahal mereka berada di dalamnya. Hal ini diakibatkan karena pemikiran mereka tidak diarahkan untuk mengenali realitas sosial tapi dibutakan demi kepentingan penguasa.

Pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan prosesi politik suatu Negara. Ketika pemerintahan cenderung korup dan ingin memapankan kekuasaan, maka pendidikan dijadikan sebagai alat untuk melakukan indoktrinasi dan penginjeksian dogma-dogma agar rakyat patuh terhadap Negara. Selain itu, tradisi pendidikan di Indonesia tidak diarahkan untuk mengenali kondisi realitas masyarakat secara mondial. Dengan kata lain bahwa pendidikan tidak berhubungan dengan dunia politik dan sosial kemasyarakatan. Para pemuda, pelajar dan mahasiswa tidak perlu mencampuri urusan politik apalagi politik praktis cukuplah mereka giat belajar dan mencari pekerjaan setelah mendapatkan gelar kesarjanaan. Pola seperti ini pernah dipraktekkan oleh rezim orde baru dengan menerapkan peraturan akademik NKK/BKK (Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kampus).

Manusia naif, walaupun menyadari bahwa terdapat kejanggalan dan sistem yang menindas dimana mereka hidup, namun mereka tidak mengkritiknya. Akan tetapi, mereka cenderung untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang menindas tersebut. Mereka akan “mereformasi diri” agar dapat ikut menikmati kekuasaan dari sistem. Ciri-ciri manusia naïf yaitu pertama, tak punya dorongan untuk berfikir dan mencari kebenaran karena mereka tidak kritis dan cenderung menerima sesuatu yang telah ada sebelumnya. kedua, tidak mempunyai inisiatif dalam mengambil keputusan sendiri. Gejala-gejala manusia naïf seperti ini dapat kita lihat pada perilaku peserta didik kita yang takut untuk mengutarakan pendapat mereka sendiri, tidak kritis, dan cenderung mengikuti apa yang diucapkan oleh guru mereka. Penundukan (subjugated) terhadap kreatifitas berfikir telah mengakar kuat dalam sistem pendidikan kita yang akhirnya menyebabkan masalah-masalah psikologi (pshycological problems).

Pendidikan seyogyanya mengantarkan manusia menjadi manusia seutuhnya dengan menggerakkan roda humanisasi. Humanisme sendiri berasal dari kata latin yaitu ‘humanitas’ yang berarti pendidikan manusia (Filsafat Manusia, 2002). Pertama, Proses humanisasi dapat tercipta jika manusia dalam kondisi apapun ditempatkan sebagai subjek. Artinya setiap manusia memiliki otonomisasi diri dan memiliki kebebasan dalam menentukan jalan hidup dan pilihan tanpa tekanan dari luar. Agar tidak terjadi penundukan kreatifitas maka upaya dialogis merupakan keniscayaan. Setiap manusia harus diajak untuk berdialog dengan menciptakan posisi yang seimbang yaitu subjek dengan subjek bukan subjek dengan objek. Kedua yaitu belajar langsung kepada realitas (learning to the reality) atau konsiensialisme (aksi-refleksi) dalam istilah Paulo Freire. Setiap manusia (peserta didik) diarahkan untuk mengenali lingkungan mereka (refleksi) sebelum melakukan aksi dan begitu pula sebaliknya. Konsiensialisme akan merangsang manusia untuk bersikap kreatif karena mereka dihadapkan langsung pada realitas kehidupan yang mereka jalani serta menumbuhkan daya kritis manusia dengan mempertanyakan segala hal mengenai diri dan masyarakatnya. Humanisasi dapat tercipta jika setiap manusia memiliki kebebasan untuk berekspresi namun kebebasan tersebut tetap dibalut dalam harmoni. (Moel & Hadi)

Politik, Pendidikan dan Partisipasi Pelajar

Masmulyadi
Activist PP IRM

Tema pendidikan senantiasa menarik untuk selalu diperbincangkan dalam konteks pembangunan sebuah bangsa. Hal ini disebabkan karena besarnya kontribusi pendidikan dalam ranah masyarakat itu sendiri. Pendidikan menjadi penting sebagai wahana transformasi sosial. Dalam konteks ini, maka masyarakat (termasuk remaja/pelajar) memegang peranan penting untuk menentukan kehidupan sosial dimasa yang akan datang.

Karena itulah, maka kehadiran pendidikan sangat dinanti oleh publik. Sayangnya pendidikan kita masih saja mengalami problem yang cukup serius. Dan yang tidak kala pentingnya adalah akses publik untuk menikmati pendidikan mengalami bias. Sekolah semakin tidak terakses disebabkan kebijakan pendidikan yang meliberalisasi sekolah. Sehingga sekolah ditentukan oleh mekanisme pasar yang berlaku. Dengan alasan yang cukup sederhana “pendidikan memang mahal bung”.

Itulah mengapa kondisi pendidikan nasional makin buruk yang ditandai oleh rendahnya sumber daya manusia. Human development index (HDI) 2004 yang dikeluarkan oleh UNDP bisa dijadikan gambaran bagaimana posisi Indonesia yang berada dalam angka 111 lebih rendah dibanding tahun 2002 yang berada diperingkat 110.

Dengan angka demikian, maka pertanyaan yang harus dilontarkan adalah, masihkah ada harapan buat bangsa ini? Sebagai orang beragama, kita tentunya harus senantiasa menggantungkan optimisme kita. Karena dengan obsesi dan optimisme itulah kita dapat bergerak maju melangkahkan ayunan gerakan kita.

Kini timbul pertanyaan lagi, haruskah dimulai dari mana gerakan itu? Ada baiknya kita memulai gerakan itu dari hal-hal kecil yang mungkin dapat dilakukan. Misalnya bagaimana seorang pelajar untuk senantiasa menginprove dirinya dengan berbagai informasi dan hal-hal baru, sedemikian sehingga mampu meningkatkan kapasistasnya secara pribadi. Dengan demikian diharapakan tumbuhnya kesadaran.

Tetapi itu tidaklah serta merta menyelesaikan persoalan secara tuntas. Harus ada gerakan bersama dari seluruh pemangku kepentingan untuk bergerak memberikan penyadaran (publik awareness) terhadap masyarakat tentang bagaimana hak-hak mereka sebagai warga negara untuk memperoleh akses pendidikan “murah” dan berkualitas. Langkah ini sangat penting mengingat politik pendidikan kita masih sangat bias terhadap kepentingan itu.

Setidaknya ada dua hak pendidikan bagi anak Indonesia. Pertama, hak untuk diperlakukan secara manusiawi sebagai insan merdeka dalam konteks ini lebih kepada bagaimana relasi pelajar dengan guru dalam proses belajar mengajar. Yaitu bagaimana menempatkan pelajar sebagai manusia otonom yang memiliki kemampuan yang relatif sama sebagai insan ciptaan Tuhan.

Pola relasi sekolah dengan pemerintah yang sedikit banyaknya dipengaruhi juga oleh model kepemimpinan patrimonial yang dianut sebagian penguasa, membawa akibat bagi inisiatif guru serta perlakuan guru murid.

Kedua, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan beradab. Yaitu lebih kepada bagaimana kebijakan pendidikan. Kita tahu bersama bahwa tugas utama pemerintah adalah bagaimana dia berkhidmat kepada masyarakat. Dalam artian bagaimana pemerintah memberikan layanan publik yang baik terhadap rakyatnya. Termasuk adalah bagaimana menyediakan peluang pendidikan yang layak dan beradab secara luas dan merata, serta dapat diakses secara mudah oleh kelompok masyarakat apa pun (Tuhuleley, 2005).

Hak ini dijamin oleh Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Menurut Freire masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Maka dalam konteks demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia dimana peran politik (eksekutif dan legislatif) begitu besar. Maka, bagaimana ranah politik mampu menjadi wahana bagi espektasi publik akan sebuah sistem pendidikan yang mencerahkan.

Oleh karena itu, tugas terbesar kaum muda dan gerakan pelajar lainnya adalah bagaimana membuktikan kepada dunia bahwa pelajar juga bisa berbuat nyata untuk masyarakatnya. Untuk itu, maka gerakan pelajar harus menggiatkan kampanye dan propaganda kepada publik bahwa mereka memiliki hak-hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu.

Pada akhirnya kesadaran publik terhadap pendidikan yang bermutu akan mengantarkan warga (remaja/pelajar) pada hak untuk merumuskan apa defenisi pendidikan yang bermutu itu sendiri. Disini meniscayakan adanya partisipasi dari kaum terpelajar untuk senantiasa ikut memperjuangkan politik pendidikan lewat proses-proses yang demokratis. Misalnya gerakan pelajar ikut hearing dengan lembaga legislatif dalam perumusan anggaran daerah untuk sektor pendidikan. Sehingga dalam ranah ini, pelajar tidak sekedar menjadi pelengkap penderita dari suatu bangsa, tetapi mampu hadir dan melaksanakan amanat sosialnya, amanat sebagai khalifah dimuka bumi ini. Wallahu A’lam Bissawab.

Pelajar Kritis, Gaul dan Syar’i

Oleh : Masmulyadi *

Banyak yang bahagia dengan tahun ajaran baru. Orang tua tentunya. Dia bahagia karena anaknya dapat lulus dan melanjutkan sekolahnya di sekolah lanjutan. Bagi seorang siswa baru, kebahagiaan itu antara lain punya teman baru, guru baru dan sekolah baru. Bahagia karena lulus ujian yang merupakan ”penghalang” sebagian siswa untuk menapaki sisi hidupnya lebih jauh. Sekolah pun ikut bahagia bisa menerima murid baru dengan aneka macam watak dan karakter. Pokoke tahun baru menjadi ruang bahagia bagi yang lulus dan mendapat sekolah baru.

Siswa yang lulus dan menjadi siswa baru pada setiap sekolah tentunya menyandang predikat sebagai siswa sekolah lanjutan. Mereka yang lulus sekolah dasar (SD) melanjutkan ke tingkat pertama, sedangkan yang lulus sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) melanjutkan ke tingkat atas (SLTA). Ketika itu, maka siswa baru menyandang sebuah predikat baru sebagai kaum terpelajar.

Sebagai kaum terpelajar, maka ada semacam tanggungjawab yang berdimensi dua hal. Pertama, berdimensi pada aspek tanggungjawab untuk menjadi pembelajar yang baik. Kedua, dimensi tanggungjawab sosial, yaitu bagaimana pelajar tidak hanya menjadi pembelajar, tetapi mengembangkan nalarnya pada tanggungjawab sosial sebagai bagian dari masyarakat.

Kedua hal diatas, hanya bisa dilakukan atau diperangkan oleh seorang pelajar dengan tiga karakter utama yaitu kritis, gaul dan syar’i. Ketiga hal ini cukup menjadi ciri yang melekat pada seorang pelajar, yaitu bagaimana mengembangkan sikap kritis, mampu bergaul secara proporsional dan senantiasa dalam bingkai ilahiah.

Sebab dalam konteks dimana ruang dan waktu yang bergerak begitu dinamis. Sangat dibutuhkan ketiga karakter diatas. Seorang pelajar pada masa kini menghadapi tantangan sosial, ekonomi dan politik yang tidak sederhana. Oleh karena itu, membangun kesadaran dan respons pelajar tentang masalah sosial, ekonomi dan politik juga cukup penting. Disamping belajar dengan baik.

Oleh sebab itu, maka memasuki tahun pelajaran ini, kita semua harus senantiasa optimis dapat melaksanakan tugas kemanusiaan kita dengan amanah. Oleh sebab itu, kepada pelajar ada beberapa catatan yang harus dikembangkan.

Kenapa harus kritis?

Pelajar sebagaimana dijelaskan diatas, memiliki peran yang tidak ringan. Pelajar dalam zaman yang orang sering sebut sebagai era global memiliki tantangan sosial yang rumit. Perkembangan tersebut berdampak pada banyak dimensi. Lunturnya kohesifitas – rasa saling membantu sebagai sesama manusia – dalam masyarakat adalah salah satu implikasi dari perubahan zaman tersebut.

Mungkin kita sering mendengar ucapakan teman-teman di sekolah yang mengatakan “hari gini gak punya HP”. Itu menjadi style – gaya – sebagai effek dari perubahan zaman tersebut. Zaman yang banyak disimbolkan oleh simbol materialisme. Yaitu suatu sikap yang mengagungkan materi. Perilaku hedonis, yaitu sikap suka berfoya-foya atau bersenang-senang.

Tetentu hal diatas tidak kondusif bagi pembentukan diri pelajar, maka seorang pelajar harus memiliki tools – alat, pisau analisis – yang dapat menuntunnya memilih pilihan yang representatif untuk mengembangkan diri. Oleh sebab itu, maka diperlukan kesadaran kritis seorang pelajar. Kesadaran ini bisa diartikan sederhana yaitu kematangan personal dalam menentukan pilihan.

Mereka kemudian memilih bukan karena orang lain, bukan karena otoritas, bukan karena hasil pengalamannya semata, bukan karena kebiasaan akan, bukan pula karena konsesi tetapi karena inquirytas mereka dalam berpikir. Mereka melakukan sesuatu karena sadar bahwa itu adalah penting dan berguna. Ali Syariati mengatakan bahwa jika tidak ada proses berpikir secara sadar maka aktivisme kemudian terjebak kedalam takhyul, fanatisme dan sebagainya.

Sebagai seorang pelajar, kritisisme harus senantiasa dibangun. Sebab salah satu ciri khas yang harus menjadi simbolnya adalah kritis. Membangun kesadaran kritis bukanlah pekerjaan mudah. Sebab itu, maka melatih diri dan mengaktifkan diri pada lembaga / organisasi menjadi sangat penting sebagai wadah belajar yang cukup reflektif dalam perjalanan kemanusiaan kita. Maka berlatilah untuk merespon sesuatu yang ganjil di lingkungan sekitar lalu pertanyakan kenapa terjadi demikian? Hal – hal kecil seperti ini cukup membantu kita pada tahapan kehidupan selanjutnya.

Gaul (Populisme)

Gaul dalam hal ini hampir sama maknanya dengan fungsi integratif. Suatu kemampuan untuk bersama dengan realitas, bersatu dengan komunitas pelajar. Hendaknya pemahaman kita tentang ini bukan hanya pemahaman tentang pola konsumerisme, pola pergaulan yang bebas, perilaku bebas dsb. Kemampuan ini bukan hanya kemampuan untuk memahami tapi lebih jauh kepada proses untuk mengubah. Proses mengubah inilah yang kemudian menjadi wilayah tanggungjawab sosial pelajar.

Sebagaimana sudah dijelaskan diatas. Bahwa kita tidak lagi hidup di zaman batu yang serba tradisional. Tetapi kita berada pada zaman yang serba maju. Dilengkapi dengan berbagai macam kemudahan-kemudahan. Tetapi disisi yang lain juga melahirkan kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Seperti penyalah gunaan teknologi yang juga berdampak pada kemanusiaan. Itulah sebabnya para kritikus modernisasi sering mengatakan bahwa modernisasi telah menimbulkan malapetaka kemanusiaan dan lingkungan yang demikian besar.

Sebab itu harus dibangun pemahaman yang profetik (kenabian). Suatu kemampuan yang bukan hanya bersama, memiliki, empati akan tetapi dilengkapi dengan kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menatanya kembali sehingga culture syock kemudian tidak menjadi gejala yang dapat menghambat secara signifikan. Dalam hal ini kita bisa belajar dari keteladanan Nabi yang agung. Bagaimana nabi merencanakan dan mendesain dakwahnya sedemikian sehingga orang tidak meresa diganggu. Sebab kehadiran Islam adalah sebagai rahmatan lil alamin.

Bingkai ilahiah

Terma ketiga yang harus senantiasa dibangun adalah syar’i, artiya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Aktivitas kepelajaran kita harus tetap dibingkai dalam frame Islam. Atau aktivisme kita harus senantiasa dalam bingkai ilahiah. Lebih spesifiknya bahwa pelajar muslim harus senantiasa dalam terang wahyu.

Hal ini mengingat bahwa sebagai pelajar Muslim yang menjadikan Islam sebagai ruh pergerakan, ruh aktivisme dan islam sebagai pijakan. Akan tetapi bukan berarti lalu terjebak ke dalam paradigma – cara pandang – ekslusifisme – hanya untuk geolongan atau komunitasnya sendiri –, yang kemudian memandang bahwa kebenaran mutlak harus menjadi milik kita dan orang lain adalah salah.

Akhirnya ketiga terma diatas harus senantiasa dikembangkan dalam kerangka proses pembinaan yang berjalan secara terus menerus dan terintegrasi satu dengan lainnya. Sehingga pada akhirnya menciptakan satu makna dan brand pelajar Muhammadiyah yang kritis, integratif dan syar’i. Wallahu a’lam bisshawab



* Mahasiswa agroekonomi fakultas pertanian UGM dan Ketua PP IPM

Rabu, 29 Agustus 2007

Departemen Perdagangan Pendidikan

Dalam rangka reformasi pendidikan, pemerintah menyiapkan Rancangan
Undang-Undang "Badan Hukum Pendidikan" atau BHP. BHP adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal, pendirinya pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Dua kali saya baca dan merenungi rancangan BHP ini.

Mengubah nama
Rencana ini tidak konsekuen. Seharusnya mencantumkan pasal penyempurnaan
berupa perubahan nama "Departemen Pendidikan Nasional" (Depdiknas) menjadi
"Departemen Perdagangan Pendidikan" (Depdagpen). Atau, demi efisiensi,
menutup Depdiknas, semua kegiatan ditransfer ke Departemen Perdagangan,
menjadi "Direktorat Jenderal Perdagangan Pendidikan". Dengan demikian,
pemerintah menghemat pengeluaran untuk gaji dan fasilitas menteri, dirjen,
direktur, dan lainnya.

Ada pertanyaan menggelitik. Apakah saat menyusun konsep rancangan BHP,
pemerintah sejak awal menyertakan (staf) Depdiknas? Jika "tidak", bunyi yang
tersurat dan tersirat dari rancangan itu sungguh melecehkan eksistensi
Depdiknas. Jika jawabannya "ya", (staf) Depdiknas sendiri ternyata
melecehkan diri sendiri. Jika demikian, Depdiknas dibubarkan saja karena
tidak menghayati lagi esensi pendidikan, mengingkari makna dan misi suci
kelembagaannya bagi Negara-Bangsa Indonesia.

Pemerintah tidak menyadari dua dasar. Pertama, hasil kerja iptek memang
bisa, boleh, dan pantas dijual. Namun, pendidikan ke arah penguasaan skills
ke-iptek-an tak selayaknya diperdagangkan. Any scientific knowledge is
public knowledge!

Kedua, demokrasi dalam pendidikan adalah mutu tinggi bagi jumlah anak didik
yang semakin besar karena tidak dibatasi pada yang mampu membayar saja.
Inilah gunanya kebijakan "Wajib Belajar", sebisa mungkin hingga SMA.
Bukankah menurut rancangan ini pendidikan diselenggarakan secara
"demokratis" .

Tanpa visi, tanpa konsep
"Semangat dagang" itu jelas tercermin dalam Pasal 2, yang membenarkan pihak
luar bersama BHP Indonesia mendirikan lembaga pendidikan, dengan modal
sampai 49 persen.

Agar penyelenggaraan pendidikan bisa bermutu memang diperlukan dana memadai.
Namun, dana ini baru menjadi positif-konstruktif setelah sebelumnya ada
konsep pendidikan yang jelas. Konsep ini justru tidak ada. Dalam penjelasan
atas rancangan ini, secara sumir disebutkan, sistem pendidikan nasional
disusun berdasarkan visi pendidikan nasional. Mana visi ini? Angan- angan,
day dream, bukan visi!

Di situlah terletak potensi bahaya. Tanpa konsep, tanpa visi nasional
tentang pendidikan nasional, modal asing dibolehkan ikut. Di balik modal
tentu ada pikiran konseptual, betapa pun "kecil" konsep itu. Adapun
mentalitas kolonial masih melekat pada pejabat kita cenderung "menelan saja"
pendapat yang diucapkan orang asing. Enggan berdebat karena tidak punya
argumen yang nalariah.

Jadi keberadaan konsep jauh lebih menentukan keberhasilan pelaksanaan
pendidikan "nasional". Konsep/visi yang jelas dan telah disepakati bersama
amat penting sebagai acuan kerja. Mengapa? Pertama, bagi pelaksanaan semua
lembaga pendidikan, konsep/visi adalah batu ujian dalam menilai ketepatan
atau penyimpangannya.

Kedua, konsep/visi untuk menghadapi kompleksitas alami, liku-liku bawaan
zaman iptek dan proses globalisasi.

Ketiga, konsep/visi bagi penyusunan/perubaha n/penyempurnaan kurikulum
sebagai respons atas kompleksitas, liku-liku dan mengombinasikannya dengan
aneka potensi alami Indonesia, nasional dan lokal.

Dalam peresmian UI sebagai Taman Sains", Presiden Yudhoyono mengatakan,
peran iptek diperbesar agar mampu bersaing di tingkat internasional.

Adapun dalam RUU BHP istilah ilmu pengetahuan dan teknologi tidak disebut
satu kali pun. Apakah secara implisit Presiden mengkritik RUU BHP? Sebagai
kepala pemerintah, kalau Presiden tahu ada cacat dalam RUU BHP, mengapa
meloloskannya ke DPR? Atau, Presiden belum pernah membaca RUU BHP itu?

Dalam penjelasan RUU, poin (e) menyebutkan, "pendidikan diselenggarakan
dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap
warga masyarakat". Tidak jelas apakah dengan "berhitung" dimaksudkan "hitung
dagang" (hundelsrekenen) . Yang jelas tidak disebut demi mengembangkan
"budaya keilmuan", sejalan makna ucapan Presiden di UI.

Berbagai tindakan aneh
Tidak heran jika dalam "komunitas nasional" kita belum memiliki
"subkomunitas ilmiah", lingkungan bekerja orang-orang berbudaya keilmuan,
meski perguruan tinggi ada di mana-mana. Ketiadaan konsep pendidikan yang
menyeluruh tercermin pada aneka tindakan yang "aneh" di bidang kegiatan
kependidikan keilmuan. Ada pendirian "universitas riset", padahal tugas
utama yang diemban universitas di mana pun adalah pendidikan.

Nyaris semua pemenang Nobel adalah para dosen yang risetnya terkait
pengembangan ilmu yang dikuliahkan, bukan demi nilai jual hasil risetnya.
Belakangan hasil-hasil itu biasanya baru menjadi bahan bisnis industrial.

Jadi yang meriset bukan universitas sebagai lembaga, tetapi dosen sebagai
persona ilmuwan. Sambil meriset dia menuntun para mahasiswanya melakukan
riset, science in term of process, dan melalui kegiatan ini mengembangkan
scientific spirit dalam diri anak-anaknya. Mereka inilah kelak yang menjadi
staf peneliti di R & D departments dari perusahaan-perusaha an industrial.

Lembaga yang seharusnya melakukan riset di negeri ini adalah LIPI, Kantor
Menteri Negara Riset dan Teknologi, dan masih ada Dewan Riset Nasional.

Sementara itu, LIPI menciptakan gelar "profesor riset", padahal "profesor"
adalah gelar jabatan akademis bagi persona yang mengajar di perguruan
tinggi. Mungkin pertimbangannya demi kegairahan untuk meriset. Di masyarakat
ada anggapan umum, "profesor" adalah orang yang serba tahu. Di sinilah
"keanehan" itu. Alih-alih memperbaiki citra yang keliru dari orang-orang
awam, lembaga ilmu pengetahuan malah menyesuaikan diri pada citra yang
keliru.

Memang profesor adalah gelar jabatan bergengsi. Kegengsiannya itu bukan
terletak pada "keserbatahuannya" , tetapi pada kenyataan, dia adalah persona
yang men-transform, melalui ajarannya, "informasi" (perolehan SD) menjadi
"pengetahuan" (di tingkat SMP, SMA), lalu menyempurnakannya lebih lanjut,
dari "pengetahuan" menjadi "pengetahuan ilmiah" (ilmu pengetahuan) di
perguruan tinggi. Idealnya, guru-guru di SMP sudah pantas diberi gelar
professeur.

Sebagai keseluruhan apa yang tersurat dan tersirat dari RUU BHP, jelas
mencerminkan hasrat pemerintah untuk lepas tanggung jawab konstitusional dan
historisnya. Tanggung jawab konstitusional berupa tugas mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tanggung jawab historis berupa menyiapkan masa depan
bangsa melalui pemberian pendidikan yang layak bagi anak-anak bangsanya.
Inikah kado istimewa bagi Ibu Pertiwi?

Daoed Joesoef
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III, 1978-1983

Guru Inspiratif

Dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen guru yang saya temui.

Jumlah guru inspiratif amat terbatas, kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.

Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan.

Sayang, sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Keberadaan guru inspiratif akan amat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.

"Freedom Writers"

Karya-karya pembaruan, baik temuan spektakuler keilmuan, produk komersial, maupun gerakan sosial, akan tampak di masyarakat. Namun tak dapat dimungkiri, semua itu berawal dari sekolah. Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang tidak bisa diperbaiki dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected) .

Kisah dan karya guru inspiratif antara lain dapat dilihat pada Erin Gruwell, perempuan guru yang ditempatkan di sebuah kelas "bodoh", yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antargeng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan honors students, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum.

Erin Gruwell memulai dengan segala kesulitan. Selain katanya "bodoh" dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, saling melecehkan, temperamental, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh.

Itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak supernakal tak boleh disekolahkan bersama distinguished scholars. Tetapi Erin Gruwell tak putus asa, ia membuat "kurikulum" sendiri yang bukan berisi aneka ajaran pengetahuan biasa (hard skill), tetapi pengetahuan hidup.

Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai, membagi mereka dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab "ya" mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antargeng.

Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih relaks terhadap guru dan teman- temannya serta sepakat saling memperbarui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers. Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film Freedom Writers yang dibintangi Hilary Swank.

Keluar dari belenggu

Apa yang dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan dasar, tetapi juga pada pendidikan tinggi. Namun, entah mengapa belakangan ini dunia pendidikan kita kian mengisolasi diri dari dunia luar dan hanya ingin menghasilkan lulusan yang terbelenggu kurikulum.

Yang disebut dosen teladan adalah dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal-jurnal tertentu yang sudah ditentukan, meski pembacanya belum tentu memadai, dan rajin mengisi daftar absensi. Dengarlah protes Kazuo Murakami PhD, pemenang penghargaan Max Planck (1990) yang menulis buku Tuhan dalam Gen Kita: The Devine Message of The DNA (2007). Ia terpaksa hijrah ke AS saat menyaksikan dominasi guru- guru kurikulum di Jepang membangun benteng hierarki. Universitas, katanya, telah menjadi menara gading yang tak peduli dengan apa yang terjadi di luar.

Meski belum menonjol di masyarakat, peran guru-guru inspiratif ini amat dibutuhkan. Terlebih anggaran pendidikan kita masih terbatas dan lulusannya banyak yang tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tetapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal.

Ada dua masalah yang harus direnungkan. Pertama, dosen kurikulum hanya membentuk kompetensi (student’s ability), hanya membentuk beberapa orang, untuk kepentingan orang itu sendiri. Guru inspiratif membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, tetapi ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat "Aku ingin jadi seperti dia" atau "Aku bisa lebih hebat lagi".

Kedua, ketidakmampuan para pendidik merespons aneka tekanan eksternal dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci kurikulum secara sakral. Tiap upaya yang dilakukan para guru kreatif untuk meremajakannya dianggap ancaman, bahkan sebagai perbuatan tidak bermoral

Masih teringat jelas, kejadian yang menimpa seorang guru inspiratif yang saya kenal. Pada tahun 2005 ia menerima penghargaan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya di bidang pendidikan. Saat itu, penghargaan serupa dalam setiap bidang juga diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suprana, Bang Yos, dan Guruh Soekarno Putra. Akan tetapi, tak banyak yang tahu hari-hari itu ia baru saja menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar "kurikulum". Kesalahannya adalah telah memperbarui metode pengajaran agar murid-murid menjadi lebih artikulatif. Murid senang, tidak berarti guru-guru lain senang. Mereka merasa terganggu oleh penyajian di luar kurikulum dan mereka menuntut agar guru ini ditarik. Semester berikutnya nama dia dicoret dari daftar pengajar. Karier guru besarnya pun dipersulit oleh guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran internal.

Kata Jagdish N Sheth, begitu orang- orang lama menyangkal realitas baru, mereka dapat menjadi arogan, terperangkap dengan kompetensi masa lalu, ingin hidupnya nyaman, dan membangun batas-batas kekuasaan teritorial. Perilaku internal itu adalah belenggu inertia, yang disebutnya destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimiliki.

Sudah saatnya benteng inertia seperti ini dihapus dengan "memanusiawikan" kurikulum dan memberi ruang lebih memadai bagi guru-guru kreatif.

Rhenald Kasali Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia (dikutip dari kompas)

Selasa, 28 Agustus 2007

Bilik Curhat

Bagi teman-teman, ruang ini dibuka bagi anda yang memiliki masalah baik di sekolah, rumah, ortu, pacar dan masalah psikologi lainnya. Kami akan memfasilitasi anda. Ruang ini akan di bantu oleh K' Nana (Mahasiswa Psikologi UAD Yogyakarta), K' Diyah (Calon Sarjana Psikologi UNY) dan fasilitator lainnya yang memiliki pengalaman konselin.

Pertanyaan bisa di alamatkan ke :
Bilik Curhat
e-mail : pelajarkritis@gmail.com

Sukseskan "Gerakan Hibah Buku Nasional"

Guna menyukseskan "Gerakan Hibah Buku Nasional" yang dilaksanakan oleh PP IRM, maka kami mengundang para pemerhati / dermawan / dan kepada mereka yang peduli dengan pendidikan anak bangsa untuk menyisihkan sebagian dari rezekinya (2,5%) / atau berupa buku langsung, guna menyukseskan program tersebut.

Bantuan buku dapat dialamatkan kepada :
Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah
Jl. KH Ahmad Dahlan No. 103 Yogyakarta, 55282
Telp. (0274) 7872186

7 Keuntungan Membaca

Pertama, kita mesti percaya bahwa membaca adalah kunci untuk membuka gerbang ilmu kesemestaan. Seentara buku adalah jendela dunia yang terhampar luasnya. Dnengan demikian kita menimani ayat Allah tentang seruan Iqro’, perintah membaca yang terdapat dalam salah satu ayat al Quran surat al Alaq yang berbunyi: “Bacalah dengan mengagungkan nama tuhanmu yang telah menciptakanmu…” . Banyak ilmuwan baik dari kalangan muslim maupun non muslim memuji kehadiaran ayat ini dan dianggap sebagai ayat pertama yang meletakkan sendi-sendi seradaban melalaui sebuah perintah agung: BACALAH!.

“Iqro”: Bacalah, demikian setiap insan diperintahkan oleh sang penguasa Semesta. Dan kita ditutntut untuk mencoba memaknai dan melaksanakan serta mengambil hikmah dari perintah tersebut. Membaca seperti apa yang diperintahkan? Rasanya bukan sekedar perintah membaca biasa? Sebagai anak muda pasti kita membutuhkan jawabannya? Iya kan?

Seorang mufasir terkemuka, Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah mengartikan iqro secara istimewa yaitu kegiatan aktif yang meliputi membaca teks, membaca realitas, memahami, meneliti/riset. Jadi, makna iqro itu teramat luasnya sehingga meliputi dimensi tekstual(buku) dan kesemestaan(jagat alam). Kecerdasan yang hendak dibangun oleh tuhan bukanlah kecerdasan mental, otak, spritual, namun kecerdasan emosional yang berdimensi semesta, lingkungan adalah hal yang penting sehingga manusia bisa memahami gerak-gerik dan fenomena alam. Artinya membaca di sini itu diwarnai dengan semangat daya pikir yang total-menyeluruh, mengingat, menganalisa dan bakan membayangkan sebuah langkah untuk mengatasi sebuah permasalahan. Berbagai bencana alam yang terjadi di negeri ini adalah menuntut refleksi kita, sejauh mana kita mampu bersahabat dan membaca nalar alam yang mempunyai “the power of nature”.Baiklah saya mensarikan dari sebuah lembaga training terkemuka, EXPERD, tentang berita penting: 7 keuntungan Membaca alam semesta (Eilan Rachman dan Sylvina Savitri ):
  1. Mengusir keraguan, kecemasan, dan kesedihan.
  2. Menebalkan keimanan, karena sesungguhnya bacaan pelajaran yang paling besar, peringatan yang paling agung, pencegahan kemungkaran yang paling efesien, dan perintah yang paling bijak.
  3. Melemaskan lidah dan menghiasi diri dengan kefasihan berbicara
  4. Mengembangkan wawasan berfikir dan memperbaiki persepsi.
  5. Mengambil manfaat dari pengalaman orang lain
  6. Menelaah berbagai kebudayaan yang menumbuhkan kesadaran akan perannya dalam kehidupan.
  7. Menjaga kalbu dari kekacauan, dan memelihara waktu dari ke sia-siaan.

Luar biasa manfaat membaca itu kalau kita mau melakukannya. Kalau tidak ya bagaimana mungkin bisa memproleh manfaat dari sebuah tradisi “agung” yang bernama membaca. Apabila kita membicarakan membaca dalam arti membaca teks maka ini akan dikaitkan dengan sikap intelktualitas kita. Sikap intelektual sangat berkaitan dengan bacaan yang dikonsumsi sehar-hari sehingga ada yang mengatakan bahwa : “you are what you read!!” dan kadar itelektualitas itu juga cukup dipengaruhi oleh cara membaca. Ada orang yang yang membaca sambil berimajinasi, mengambil intisari, menggarisbawahi, bahkan ada yang membaca daftar isinya saja, lalu dilajutkan yang .enarik untuk dibaca dan sebagainya dan sebagainya.

Seorang yang cerdas membaca perlu mampu membaca buku dengan menghadirkan konteks dan lingkungan yang mengelilinginya. Terhadap sebuah tulisan pembaca perlu hadir, menyerap, menyimpulkan, mengulang/review, dan juga memperjelas.

Selamat membaca alam semesta!!

Pelajar “Menolak Bungkam”

Oleh David Effendi
Ketua PIP PP IRM

Menyikapi perubahan sosial pasca bergulirnya reformasi sejak tahun 1998 yang lalu musti dalam hati kecil kita bertanya apa yang berubah dalam dunia pendidikan kita? tentu kita akan berusaha seobyektif mungkin melihat perubahan sosio-politik, atau sosio-ekonimi bahkan sosio-kultural dalam masyarakat kita yang terkadang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.


Kita masih saja menemukan tulisan diberbagai media bahwa masih banyak praktek kebijakan atau budaya politik masyarakat yang ke-ordebaru-an. hal ini disebabkan oleh adanya kenyataan dalam kehidupan kolektif kita seperti kebijakan yang sentralistik tentang: seragam, buku wajib, UAN atau sekarang UN (ujian Nasional) dan sebagainya, dalam ruang kelas kita lihat masih banyak pendidik yang memposisikan dirinya sebagai pusat dari kegiatan belajar mengajar. murid adalah obyek dan guru adalah subyek, guru serba tahu dan murid tidak tahu apa-apa mengakibatkan di kelas hanya berisi kegiatan transfer knowledge yang kesemuanya itu akan berakibat mengahsilkan orang-orang yang takluk pada atasan, bermental kuli dan semakin melanggengkan budaya bisu alias tidak punya kretifitas karena selama pendidikan di sekolah inisiatif dan kebebasan berekspresi tidak diafasilitasi dengan baik maka tak heran akhir-akhir tahun ini banyak siswa melakukan percobaan bunh diri atau lari dari relaitas yang menurut mereka tidak layak untuk diakrabi.


Gagasan Paulo Freire (pedagogy of the Opressed, 1972) tentang pendidikan yang membebaskan perlu kita apresiasi dan penting untuk dipraktekkan dalam kultur pendidikan kita. kita tidak boleh membiarkan masyarakat kita utamanya pelajar dan mahasiswa berhenti pada level kesadaran magis, atau kesadaran naïf namun membangun kesadaran kritis di kalangan pelajar adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda. kita tahu petaka pendidikan yang gaya “bank” hanya akan melahirkan manusia yang tertindas, bermental kuli atau meminjam bahasanya Emha Ainun nadjib menjadi gelandangan dinegri sendiri, dan jadi robot-robot yang bernyawa bagi penguasa. PR untuk perbaikan pendidikan kita terlampau banyak dan tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat. laporan Bank Dunia menyebutkan keterampilan membaca siswa kelas 4 SD Indonesia paling rendah di Asia Timur. lalu, prestasi siswa SLTP dalam mata pelajaran IPA menempati urutan ke-32 dan Matematikan urutan ke-34 dari 38 negara. soal daya saing, Indonesia menempati rangking ke-37 dari 57 negara(kompas, 28 Sept 2001)

Dari mana kita mulai menyelesaikan PR tersebut? rasanya penting untuk membaca pemikiran Paulo Freire berikut ini. dia membagi kesadran manusia ke dalam tiga tingkatan yang heararkis:

kesadaran naïf yang melihat bahwa sumber persoalan adalah berasal dari internal manusia sendiri (human error). Jadi, bahasa kita orang yang bertipe kesadran naïf itu tak pernak menyalahkan orang lain. Selalu husnudzhon pada orang atau factor diluar dirinya.


kebangkitan kekuatan civil society yang meyuburkan nilai-nilai substransial demokrasi, transparansi, keseimbangan (keadilan) harusnya menjadi angin segar untuk melakuakn perubahan metode mengajar dan emndidik dilingkungan sekolah atau keluarga bahkan masyarakat untuk betul-betul menghargai manusia sebagai manusia (memanusiakan manusia), tidak mengangap semua pihak diluarnya sebagai obyek melainkan diposisikan sebagai subyek aktif.


setiap manusia tak terkecuali pelajar adalah berhak untuk mendesain masa depannya sendiri, tanpa harus dikekang atau dikungkung oleh keterbatasan ruang dan waktu. segala bentuk kebijakan yang merugikan atau mengancam pelajar (misalnya hak belajar atau mendapatkan pendidikan yang berkualkitas dirampas dengan kebijakan mahalnya pendidikan) harus dilawan. karena dalam sebuah masyarakat yang tidak ada pintu untuk protes, menyalurkan aspirasi dan hak-hak pelajar dibatasi oleh kebijakan yang menindas maka sama halnya kita hidup pada zaman kolonial atau orde baru (sudah tidak sesuai dengan semnagat zaman yang kian menuintut kita lebih peka, kritis terhadap situasi dan kondisi yang terus berkembang). dan apabila kita biarkan msyarakat dalm kebisuan maka sama saja kita menganggap mereka : masyarakat dan pelajar sebagai “manusia mati” karena tak memiliki otonomi.


Melalui apa kita mengkaunter budaya bisu? salah satunya adalah lewat jalan advokasi yang disana akan memberikan pendidikkan kritis yang memberi p-engetahuan tantang hak-haknya dan juga kewajibannya. selain mampunyai hak asasi juga mempunyai kewajiban asasi. negera yang selama ini hanya menuntut warganya atas kewajiban asasi (bayar pajak, SPP) harus diimbangi dengan pemberian jamianan atau hak yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.


Dengan ini masyarakat semakin memilki kesadran kritis, tidak lagi nrimo ing pandom yang berakibat fatalisme akut, dan kita secara riil bisa menggempur budaya bisu yang sudah menjangkiti bangsa Indonesia selama berabad-abad lamanya.


Selamat berjuang!!!. kita takkan pernah merasakan dampak positif dari perubahan kalau kita hanya bisa berpangku tangan.

Selamat Atas Pelantikan PR IRM M. Mu'allimat

Kru "interupsi" mengucapkan selamat dan sukses atas pembentukan dan sekaligus pelantikan

Pimpinan Ranting
Ikatan Remaja Muhammadiyah
Madrasah Mu'allimat periode 2007/2008

Semoga Allah Swt memberikan keringanan dan kekuatan guna melaksanakan mandat tersebut

salam hormat
Masmulyadi
Penanggung jawab,-

Senin, 27 Agustus 2007

UN, Kualitas atau Formalitas

Indonesia yang kita cita-citakan adalah sebuah negara yang mampu mensejahterakan, memberikan kenyamanan, menciptakan sumber daya yang berakhlak mulia, dan mampu bersaing. Keterpurukan yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh buruknya perekonomian di Indonesia, tetapi juga disebabkan karena moral crisis (krisis moralitas) dan rendahnya sense of belonging (kepemilikkan bangsa). Pembentukan karakter dan pengetahuan yang terjadi melalui pendidikan formal, informal, dan non formal merupakan modal dasar dalam membangun bangsa.

Pendidikan harus dilakukan secara utuh, dari perencanaan, proses, dan evaluasi. Oleh karena itu, Ujian Nasional akan menjadi bagian evaluasi yang komprehensif, apabila dilakukan secara utuh, baik, dan transparan. Ujian Nasional tidak hanya menguji kognitif skill, tetapi juga harus menguji afektif, psikomotorik skill. Saat ini Ujian Nasional hanya mampu mengujikan kognitif skill.

Ujian nasional juga harus dilakukan oleh lembaga independent dan memperhatikan fungsi pendidik sebagai evaluator. Pemerintah membuat standar nasional pendidikan melalui lembaga independent (BSNP) tetapi pemerintah juga harus melibatkan tenaga pendidik, karena pendidik yang mengetahui secara menyeluruh kondisi siswa dilapangan. Ujian Nasional dilakukan untuk mengetahui standar minimal kelulusan 4,50 yang juga diharapkan mampu memberikan gambaran tentang kualitas tenaga pendidik yang ada.

Ujian Nasional harus dilakukan oleh lembaga mandiri yang mampu mempertanggungjawabkan seluruh prosesnya. Proses dilakukan dengan melibatkan unsur daerah yang representatif mewakili daerah di Indonesia. Kondisi pendidikan didaerah memang berbeda-beda, terjadi academik gab yang tinggi, oleh karena itu harus ada partisipasi daerah dalam pra, proses, dan pasca pelaksanaan Ujian Nasional. Pengawasan atau pemantauan juga dilakukan oleh tim independent yang dapat menjaga dan mengawasai pelaksanaan UN. Biaya yang dikeluarkan cukup tinggi, jadi UN harus sesuai dengan pasal 58 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.

UU Sisdiknas juga memperhatikan hak pendidik untuk memberikan evaluasi proses, kemajuan, dan kemajuan hasil belajar. Hal ini yang dijadikan landasan bahwa pendidik boleh melakukan evaluasi. Apabila Ujian Nasional hanya formalitas saja, artinya belum transparan, tidak meliputi unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik, maka lebih baik pendidik yang melakukan evaluasi tersebut.

Profesionalisme pendidik juga harus ditingkatkan. Pendidik tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi pendidik juga menstranformasikan nilai-nilai, sikap, moralitas, dan lain-lain. Oleh karena itu, pendidik menjadikan komponen terpenting dibanding siswa, kurikulum, dan sarana prasarana. Apabila siswa, kurikulum, dan sarana prasarana bagus, tetapi pendidiknya tidak bagus, maka hasilnya juga akan kurang bagus. Oleh karena itu, profesionalisme pendidik menjadi keharusan apabila pendidik diberikan wewenang untuk malakukan evaluasi.

Ujian Nasional yang menghabiskan biaya yang sangat besar, harus mampu meningkatkan kualitas peserta didik. Apabila tidak terjadi perubahan yang signifikan maka Ujian Nasional dihapuskan saja, dan diganti dengan Ujian Akhir Sekolah yang lebih memperhatikan local wisdom dan local genius. Kondisi demikian, sebaiknya pemerintah hanya menetapkan standar nasional pendidikan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005, dan untuk pelaksanaan Ujian diserahkan kepada daerah masing-masing. Pelaksanaan Ujian bukan hanya menilai hasilnya saja tetapi harus juga menilai prosesnya juga.

Penilaian Ujian Nasional harus memperhatikan aspek P + Q + R, artinya P sebagai perilaku siswa disekolah, Q artinya nilai harian siswa, R artinya nilai ujian nasional, kolaboratif penilaian ini akan jauh lebih komprehensif untuk menentukan kelulusan. Dilihat dari kacamat mutu pendidikan, sudah saatnya kita meningkatkan mutu pendidikan salah satunya dengan meningkatkan evaluasi perencanaan, proses, dan hasil pada setiap satuan dan jenjang pendidikan. (Dikutip dari www.sekolahrakyat.org)

Sekolah Jadi Barang Mewah

Bagi warga miskin di Jakarta dan sekitarnya, sekolah ibarat barang mewah. Terlebih ketika akan memasukkan anak – anak mereka ke sekolah baru, karena sebagian besar di antara mereka tak punya dana cadangan yang dapat disisihkan untuk pendidikan. Dihadapkan kondisi seperti itu, mendaftarkan anak ke sekolah menjadi semacam ritus yang amat menakutkan. Bagi warga miskin, lembaga pendidikan tidak bisa diharapkan banyak akan bisa mengubah masa depan anak – anak mereka.

Trisna Budiwarto (40), warga Petamburan, Jakarta Barat, termasuk yang menghadapi tahun ajaran baru dengan seorang anak yang harus melanjutkan ke sekolah menengah pertama tanpa tabungan sepeser pun. “ Anak saya mau masuk SMP duitnya belum kelihatan. Jangankan tabungan, yang ada Cuma tagihan,” ujarnya, Jumat (15/6). Trisna lalu memperlihatkan tagihan rekening air selama beberapa bulan sebesar Rp. 900.000,- dan tunggakan rekening listrik tiga bulan. Dia berlangganan air bersih sewaktu masih bekerja di sebuah perusahan kontraktor, beberapa tahun lalu. Setelah kehilangan pekerjaan itu selama tujuh tahun, terpaksa Trisna bekerja sebagai pedagang air minum kemasan di Tanah Abang untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Trisna berjualan pada malam hari dan istrinya pada siang hari.

Demikian pula Sumiati, warga Cilandak, Jakarta Selatan. Dia tidak punya tabungan sama sekali dalam bentuk apa pun. Anak tertuanya, Putera, baru saja lulus SD dan sudah waktunya melanjutkan ke SMP. Dia memang belum tahu anaknya aka bersekolah di mana dan berapa biaya yang dikeluarkan. Sumiati masih menunggu dengan was-was hasil tes yang menjadi syarat masuk SMP negeri. Akan tetapi, tetap saja dia harus menyiapkan sejumlah uang untuk buku pelajaran, seragam sekolah, peralatan tulis, bahkan sumbangan awal tahun jika nanti terpaksa bersekolah di swasta.

Menyiapkan dana keperluan sekolah itu bukan perkara mudah bagi Sumiati yang hanya mengandalkan pendapatan suaminya sebagai kuli bangunan harian, dengan upah Rp.50.000 per hari. Uang itulah untuk kebutuhan sehari-hari empat anggota keluarga tersebut, termasuk uang kontrakan rumah petak yang mereka tempati saat ini. “ Pernah dua minggu suami saya tidak ada pekerjaan sama sekali. Wah, jangankan untuk keperluan sekolah, makan saja bingung,” katanya.

Mereka sesungguhnya sudah paham akan arti pentingnya bersekolah. Setidaknya, berpandangan melalui sekolah ada harapan agar masa depan anak-anaknya akan lebih baik dan kemudian dapat membantu keluarga. Trisna dan Sumaiati, misalnya, berupaya sedapat mungkin agar anak mereka terus bersekolah. Biasanya, jika ada kebutuhan biaya sekolah yang benar-benar mendesak, mereka mencari pinjaman. “ Kalau enggak dapat, minta ke sekolah agar bisa mencicil tatau nunggak dulu. Setelah itu, uang dapur dikurangi sedikit – sedikut. Ya, yang penting ada nasi aja,” kata Sumiati. ( Kompas, “Humaniora”, Jum’at 15 Juni 2007, TP )