Stop Komersialisasi Puasa, Banyak Membaca
JOGJA - Memasuki bulan Ramadan PP Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) dengan tegas menuntut penghentian komersialisasi puasa yang dapat merusak iman masyarakat. Komersialisasi puasa oleh beberapa pengusaha terutama media televisi dinilai mampu menjauhkan masyarakat dari esensi puasa.
Untuk mendukung tuntutan stop komersialisasi puasa, PP IRM juga menyosialisasikan gerakan matikan televisi selama Ramadan dan kampanye membaca. "Kedua gerakan tersebut kami nilai sebagai jalan agar masyarakat mampu emnjalankan puasa degan khusuk," jelas Ketua Advokasi PP IRM Masmulyadi.
Menurut PP IRM saat Ramadan tiba para pengusaha televisi berbondong-bondong mengusung tayangan yang mampu merusak iman masyarakat. Sebab tayangan televisi terutama sinetron jauh dari nilai relijius.
"Meski tayangan sinetron dikemas dengan konsep cerita relijius sebenarnya tayangan tersebut justru menjauhkan masyarakat dari ajaran agama yang menjadi kewajibannya. Banyaknya sinetron selama bulan puasa justru merupakan instrumen yang dibuat kaum borjuis untuk melupakan roh bulan ramadan," tambah Masmulyadi.
Pernyataan menuntut stop komersialisai disampaikan PP IRM di kantor PP Muhammadiyah Jl Cik Di Tiro kemarin. Menurut PP IRM tayangan sinetron yang diputar pada jam di saat umat Islam menjalankan ibadah seperti salat atau taraweh adalah bukti upaya menjauhkan masyarakat dari esensi bulan suci.
"Pada bulan mencari berkah bukannya diisi dengan siraman rohani malah kebanjiran sinetron yang tidak mendidik. Padahal sebelum puasa jarang stasiun televisi memutar tayangan yang berbau relijius. Tetapi ini trik mereka untuk mendapatkan pendapatan iklan. Hal inilah yang kami sebut sebagai komersialisasi puasa," tambah Masmulyadi.
Selain menyoroti tayangan televisi selama bulan Ramadhan, PP IRM juga menyesalkan berkembangnya budaya ingar bingar yang disebarluaskan selama bulan suci. Budaya ingar bingar yang mereka maksud adalah budaya ngabuburit dan konser musik menjelang buka puasa.
"Ini tidak lain adalah hasil persengkokolan kaum borjuis dengan mengatasnamakan ibadah. Konsep yang disebarluaskan ngabuburit atau menlihat konser musik adalah budaya sehari-hari selama puasa. Bukankah tidak lebih baik mengisi waktu dengan hal yang berbau ibadah," tambahnya.
Budaya ingar bingar membuat pelaksanaan ibadah puasa tidak ada bedanya dengan perayaam tahun baru. "Penuh dengan event musik dan ngabuburit. Di sepanjang jalan di beberapa titik kota penuh dengan kaum muda yang nongkrong. Maka PP IRM menekankan perbanyaklah ibadah selama bulan puasa." (lai)
http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_radar&id=172245&c=85
Rabu, 12 September 2007
PP IRM Seruhkan 'Stop Komersialisasi Ramadhan'
Yogyakarta-RoL-- Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) menyerukan "stop komersialisasi Ramadhan", agar bulan puasa bagi umat Islam tersebut tidak dialih-fungsikan sebagai momen untuk menumpuk modal.
"Kini Ramadhan dipandang sebagai ajang 'entertaint' dan dijual dengan beragam cara untuk kepentingan pemilik modal, yang mengakibatkan lunturnya esensi ramadhan," kata Ketua Bidang Advokasi PP IRM Masmulyadi di Yogyakarta, Selasa.
Ia mengatakan, maraknya tayangan televisi seperti sinetron remaja yang mengeksploitasi momen Ramadhan merupakan salah satu bentuk fenomena komersialisasi bulan suci umat Islam untuk kepentingan para pelaku bisnis hiburan.
Pasar sebagai satu instrumen sistem kapitalisme kemudian menciptakan simbol baru yang memerlukan struktur organisasi agama. Banyak ulama atau ustadz merangkap menjadi usahawan, pedagang, politisi yang memanfaatkan sentimen ajaran sebagai sarana meraih keuntungan. "Kami menghimbau kepada para tokoh Islam untuk berhenti berceramah dengan tidak proporsional," katanya.
Budaya pemanfaatan Ramadhan untuk kegiatan-kegiatan komersial yang sebenarnya melunturkan makna puasa Ramadhan tidak pantas dilakukan karena kemuliaan bulan Ramadhan tidak sebanding dengan harga pasar.
"Oleh karenanya, PP IRM menghimbau kepada seluruh remaja Islam untuk melakukan kegiatan yang positif dalam mengisi bulan Ramadhan, seperti dengan mengembangkan budaya gemar membaca, sehingga muncul kesibukan baru yang dapat mengalihkan perhatian remaja dari tayangan komersial ramadhan," katanya.
Dalam upaya membangun kesadaran remaja Islam, IRM tidak ingin terjebak dalam budaya demonstrasi atau tindakan anarkis menghadapi kenyataan atau praktik yang tidak sesuai syariat Islam, seperti tempat hiburan malam. "Kita tidak ingin terjebak dalam aksi semacam itu, kalau kita melakukan demostrasi pada bulan Ramadhan saja, berarti kita menghalalkan kegiatan itu di luar bulan Ramadhan," katanya. antara/mim
"Kini Ramadhan dipandang sebagai ajang 'entertaint' dan dijual dengan beragam cara untuk kepentingan pemilik modal, yang mengakibatkan lunturnya esensi ramadhan," kata Ketua Bidang Advokasi PP IRM Masmulyadi di Yogyakarta, Selasa.
Ia mengatakan, maraknya tayangan televisi seperti sinetron remaja yang mengeksploitasi momen Ramadhan merupakan salah satu bentuk fenomena komersialisasi bulan suci umat Islam untuk kepentingan para pelaku bisnis hiburan.
Pasar sebagai satu instrumen sistem kapitalisme kemudian menciptakan simbol baru yang memerlukan struktur organisasi agama. Banyak ulama atau ustadz merangkap menjadi usahawan, pedagang, politisi yang memanfaatkan sentimen ajaran sebagai sarana meraih keuntungan. "Kami menghimbau kepada para tokoh Islam untuk berhenti berceramah dengan tidak proporsional," katanya.
Budaya pemanfaatan Ramadhan untuk kegiatan-kegiatan komersial yang sebenarnya melunturkan makna puasa Ramadhan tidak pantas dilakukan karena kemuliaan bulan Ramadhan tidak sebanding dengan harga pasar.
"Oleh karenanya, PP IRM menghimbau kepada seluruh remaja Islam untuk melakukan kegiatan yang positif dalam mengisi bulan Ramadhan, seperti dengan mengembangkan budaya gemar membaca, sehingga muncul kesibukan baru yang dapat mengalihkan perhatian remaja dari tayangan komersial ramadhan," katanya.
Dalam upaya membangun kesadaran remaja Islam, IRM tidak ingin terjebak dalam budaya demonstrasi atau tindakan anarkis menghadapi kenyataan atau praktik yang tidak sesuai syariat Islam, seperti tempat hiburan malam. "Kita tidak ingin terjebak dalam aksi semacam itu, kalau kita melakukan demostrasi pada bulan Ramadhan saja, berarti kita menghalalkan kegiatan itu di luar bulan Ramadhan," katanya. antara/mim
Langganan:
Postingan (Atom)